HOME | SCIENCE | LITERATURE | SPORTS | NEWS | PICTURE | MUSIC | FORUM

Kamis, 13 Oktober 2011

NEW GENERATION ???


assalam
saya pernah melihat di televisi, di acara musik muda mudi dimana fans melompat dan berteriak,
Itulah gambaran dari generasi saat ini. Acara yang disiarkan salah satu tevisi swasta yang tayang setiap hari. Ma'mumnya bisa mencapai ratusan jemaat, mengekor mengeliling mall tempat diadakan. Dari rumah, mungkin mereka pamit orang tua untuk pergi ke sekolah, namun sampai tempat tujuan nama guru mereka berubah menjadi SMASH, Ungu, Wali Band, dan deretan artis papan atas ibukota.

Apa yang bisa kita harapkan dari generasi seperti ini? Generasi Dahsyat yang standar keberhasilannya adalah popularitas. Bahkan bertemu calon pujaannya nyaris lebih tinggi dari segalanya. Ada yang pakai tengtop, celana tanggung sepaha, bahkan GADIS BERJILBAB pun ikut berteriak secara histeris. Bahkan kadang teriakannya lebih keras dari gadis lainnya.
Astaghfirullahal 'Adziem

Fenomena remaja yang rela berteriak-teriak itu diulang berkali-kali setiap pagi. Tidak hanya di satu televisi swasta, namun juga di stasiun televisi lain dengan nama berbeda, namun dalam rupa hampir sama.

Jadilah apa yang kita lihat saat ini terhadap apa yang disebut Generasi Inbox, Derings, Dahsyat, Justin Bieber atau ke korea korea an

Di zaman seperti sekarang ini, orangtua sudah terlanjur mendefiniskan standar keberhasilan dari sudut materialisme semata. Mereka memang sukses membangun bisinisnya, relasinya, karirnya, tapi mereka gagal membangun ditempat asal mereka berdiri, yakni keluarga.

Suka tidak suka, senang maupun tidak senang, kaum lelaki harus rela, bahwa ibu adalah orang yang paling dekat kepada anaknya ketimbang ayah. Walau seorang ayah bersusah payah untuk dekat kepada anak, pastilah kedekatan emosional seorang ibu kepada anaknya akan mengalahkan siapapun.

Imam an-Nawawi pernah menceritakan bagaimana peran IBU di belakang penguasaan Imam Syafi‘i terhadap fiqh. Ibu Imam Syafi’i adalah seorang wanita berkecerdasan tinggi tapi miskin. Namun bisa dikatakan kesetiaannya berada di belakang sang anak lah yang menjadikan Imam Syafi’i menjadi ilmuwan sejati hingga saat ini.

Di Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, meski hidup tanpa suami, sang ibu telah sukses menerjemahkan visi jangka panjang untuk membawa nama harum sang anak ke hadapan Allahuta’ala. Sekalipun hidup dalam sebatang kara, hal itu tidak menghalangi sang ibu untuk menempatkan anaknya dalam kultur pendidikan agama yang terbaik di Mekkah.

Sang ibu sadar, ia tidak memiliki banyak uang, namun kecintaananya terhadap Allah dan buah hatinya, sang ibu meluluhkan hati sang guru untuk rela mengajar Imam Syafi’i meski tanpa bayaran.

Sekalipun hidup dalam kemiskinan, kecintaan Imam Syafi’i tak sama sekali membuatnya pantang menyerah dalam mencintai Islam dan menimba ilmu. Beliau sampai harus mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta semata-mata demi kecintaannya dalam menulis Islam. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi.

Hingga pada usia sebelum beranjak ke 15 tahun, Imam Syafi’i menceritakan hasratnya kepada sang ibu yang sangat dikasihinya tentang sebuah keinginan seorang anak untuk menambah ilmu diluar Mekkah. Mulanya sang bunda menolak. Berat baginya melepaskan Syafi'i, dalam sebuah kondisi dimana beliau berharap kelak Imam Syafi’i tetap berada bersamanya untuk menjaganya di hari tua.

Namun demi ketaatan dan kecintaan Syafi'i kepada Ibundanya, maka mulanya beliau terpaksa membatalkan keinginannya itu. Meskipun demikian akhirnya sang ibunda mengizinkan Imam Syafi'i untuk memenuhi hajatnya untuk menambah Ilmu Pengetahuan ke luar kota.

Sebelum melepaskan Syafi'i berangkat, ibunda Imam Syafi’i menjatuhkan doa ditengah rasa haru orangtua kandung memiliki anak yang telah jatuh hati pada ilmu,

"Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh Alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut Ilmu Pengetahuan peninggalan Pesuruhmu. Oleh karena itu aku bermohon kepadaMu ya Allah permudahkanlah urusannya. Peliharakanlah keselamatanNya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan Ilmu Pengetahuan yang berguna, amin!"

Setelah usai berdo'a, sang ibu memeluk Syafi'i kecil dengan penuh kasih sayang bersama linangan air mata membanjiri jilbabnya. Ia sangat sedih betapa sang anak akan segera berpisah dengannya. Sambil mengelap air mata dari wajahnya, sang ibu berpesan,

"Pergilah anakku. Allah bersamamu. Insya-Allah engkau akan menjadi bintang Ilmu yang paling gemerlapan dikemudian hari. Pergilah sekarang karena ibu telah ridha melepasmu. Ingatlah bahwa Allah itulah sebaik-baik tempat untuk memohon perlindungan!” Subhanallah

Selepas mendengar doa itu, Imam Syafi'i mencium tangan sang ibu dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya. Sambil meninggalkan wanita paling tegar dalam hidupnya itu, Imam Syafi'i melambaikan tangan mengucapkan salam perpisahan. Ia berharap ibundanya senantiasa mendo'akan untuk kesejahteraan dan keberhasilannya dalam menuntut Ilmu.

Imam Syafi’i tak sanggup menahan sedihnya, ia pergi dengan lelehan airmata membanjiri wajahnya. Wajah yang mengingatkan pada seorang ibu yang telah memolesnya menuju seorang bergelar ulama besar. Ya ulama besar yang akan kenang sampai kiamat menjelang.

Apa yang bisa kita harapkan dengan membiarkan anak kita menjadi pengikut setianya? Berdecak gembira menceritakan kepada kawan-kawannya karena baru saja masuk layar kaca? Sungguh cerita yang tidak sebanding dengan HANCURNYA MORAL GENERASI

yang di kutib dari situslakalaka.blogspot. com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar